Istilah: Perempuan Lebih Mulia Jika Di rumah, Can’t Relate Bagi Sebagian Orang

Belakangan saya sangat menyukai isu-isu tentang perempuan. Saya gemar sekali membaca apapun menyoal perempuan. Mulai dari standardisasi kecantikan, beban ganda, stigma masyarakat untuk perempuan baik-baik dan lain sebagainya.

Kemudian rasa semangat mempelajari literatur itu sedikit berkurang, ketika kini saya disibukkan dengan pekerjaan administratif. Sempat kesal karena waktu untuk memuaskan diri membaca buku atau menonton film tentang isu-isu perempuan menjadi berkurang.

Tapi kemudian saya tersadar, bahwa yang selama ini saya baca sekarang sedang saya jalani. Saya sedang melakoni adegan kesibukan perempuan bekerja dengan senegap aturan yang ditentukan oleh sebuah instansi. 

Di sisi lain saya juga harus menyelesaikan kesibukan dasar di rumah seperti berberes, mencuci baju, menyetrika, dan memasak untuk memenuhi kebutuhan dasar sendiri.

Saya mulai mengintegrasikan antara konsumsi bacaan saya dengan laku kehidupan sehari-hari dalam pekerjaan. Kebetulan ditempat kerja saya, mayoritas pegawainya adalah perempuan.

Hal ini mendukung saya ketika akan melakukan riset kecil-kecilan dengan rekan kerja. Apalagi bagi mereka yang sudah menikah dan memiliki anak. Tentu hari-harinya lebih sibuk lagi dibanding saya.

Sebagian dari mereka bahkan ada yang hamil dan masih produktif bekerja. Dan hampir semua yang sudah menikah melakoni pekerjaan ganda untuk di rumah, karena suaminya juga sibuk bekerja. 

Rasanya begitu salut dengan para perempuan ini yang tidak pernah mengenal apa itu beban ganda, atau apa itu stigma masyakarat ketika pulang di sore hari. Satu semangatnya hanyalah ikut berperan menopang ekonomi keluarga.

Rasa-rasanya istilah “Perempuan Lebih Mulia Jika Di rumah” itu can’t relate dengan teman-teman saya ini. istilah itu mungkin sesuai untuk perempuan-perempuan istri konglomerat atau juragan minyak. Lha gimana mereka tidak perlu keluar rumah uang untuk belanja, pergi ke salon, beli jilbab baru juga ada yang supply.

Tapi apa kabar mereka yang menikah pada kondisi ekonomi yang sama-sama belum stabil. Karena secara sederhana menikah adalah perjanjian dua orang dewasa untuk hidup dalam satu rumah. Sebagai manusia sepenuhnya perempuan juga berhak memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. 

Begitu juga laki-laki. Mencuci baju, membereskan kamar atau tempat tinggal, dan menyiapkan makan adalah kebutuhan setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan.

Maka sungguh tidak adil jika seorang perempuan sebelum menikah ia produktif bekerja dan memperoleh gaji.

Kemudian ketika menikah ia ganti kesibukan demi memenuhi tugas-tugas berdasarkan gender. Ia bahkan mungkin harus mengeliminasi kebutuhan make up dan beli jilbab kemudian mengalokasikan uang pada kebutuhan yang lain. Sebab penghasilan suaminya hanya pas untuk kebutuhan pokok saja.

Keadilan akan terwujud mana kala dua subjek kehidupan saling berkolaborasi menyelesaikan pekerjaan tanpa memandang gender. Sehingga tidak ada lagi pembagian tugas berdasarkan gender pada proses melanjutkan hidup bersama itu. 

Tapi lagi-lagi, kita sudah terlanjur nyaman dengan budaya patriarki. Makanya untuk menyampaikan gagasan yang adil ini, tidak heran jika pro dan kontra membututinya.

Untuk memutus lingkar setan itu, setidaknya perempuan harus sadar terlebih dahulu. Tidak terlena pada gelar perempuan lebih mulia jika di rumah.

Perempuan harus sadar bahwa banyak orang di luar sana seharusnya lebih mulia karena bekerja keras di luar rumah untuk justru untuk memenuhi kemaslahatan keluarganya.

0 Response to "Istilah: Perempuan Lebih Mulia Jika Di rumah, Can’t Relate Bagi Sebagian Orang"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel