Kita yang Tak Pernah Mendefinisikan 'Kita'

Perempuan adalah perempuan. Laki-laki adalah laki-laki. Kita adalah kita, laki-laki dan perempuan yang tak dapat mendefinisikan arti 'kita'
Mentari kembali ke peraduannya. Membiaskan jingga dan semburat emas yang turut memantik sebuah bayangan lelaki pemilik senyum termanis. Laki-laki yang belum sama sekali Rinjani temui. Seorang yang kalau berbicara sering mendominasi. Penyuka fotografi dan telaten menekuni videografi sebagai hobi.


Tanda penasaran itu terbaca sejak bulan Juni. Ketika hujan sedang tabah-tabahnya, disembunyikannya kekaguman itu dari jemari yang akan menyentuh icon love pada postingan instagram. Tapi ia hilang kendali, suatu ketika aktivitas stalking terlampau memalukan ketika tak sengaja jemari melakukan hal ceroboh.

Dia.. laki-laki yang sepertinya pernah menjawab question box di instastory Rinjani.

"Ada laki-laki se-keren ini yang sering memantau story alayku?" Sebuah tanya yang menjelma jadi logika.

Kepada hati, sebelum khayal menjadi kegiatan rutin ketika akan mengakhiri hari. Bagi setiap diri yang lama tak pernah menaruh kagum. Diam-diam, bagian dari hati paling lembut bernama naluri. Akhirnya porakporanda. Rinjani terus merajut kesamaan yang mungkin bisa jadi bahan berbincang.

Sampai suatu ketika. Masa itu datang juga. Seperti magic, tanpa banyak tawar menawar. Rinjani sudah memiliki akses roomchat dengan lelaki itu. Lelaki yang sepertinya, terlalu indah, terlalu tidak pantas, terlalu rumit untuk dipahami masa lalunya.

Padahal ini hanya perkenalan maya, naif sekali kalau sudah ada rencana jatuh cinta. Bisa berteman saja sudah bagus. Setidaknya ada kesempatan untuk mencintai dengan cara paling aman, dengan pertemanan.

Tapi sebuah tanya "Mau nggak telponan?" Meruntuhkan dimensi jagat raya Rinjani.

Canggung, aneh, tapi berlangsung lama. De javu rasanya. Mengobrol dengan seseorang yang baru dikenal. Tapi bisa berjam-jam.

Konsekuensinya hari-hari Rinjani dipenuhi rasa penasaran. Tentang siapa, bagaimana dan sesekali mungkinkah? Sekarang senja tidak saja dipenuhi rindu, tapi juga sedikit harapan. Indah, semu, samar dan lama-lama hilang. Tak tahu besok akan kembali hadir sebagai lembayung atau jingga yang lebih merona.

"Ku kira kau rumah.. nyatanya kau cuma aku sewa.. dari tubuh seorang perempuan yang memintamu untuk pulang.. kau bukan rumah.. " Sebuah lagu yang terus menggema didinding kamar Rinjani, sepertinya satu frekuensi dengan perasaannya.

Kini, Rinjani tidak hanya menggunakam cara mencintai paling aman. Tapi juga menempuh cara mencintai tanpa kehilangan. Melalui rapalan panjang yang disebut doa. Disemayamkannya kalimat perkalimat untuk memohon restu atas hati yang menjadi milik-Nya.

Rinjani memeluk-Nya, membiarkan perasaannya beradu dengan logika yang rumpang. Membiarkan dirinya dihujam sebagai tempat persinggahan, pelarian, atau apapun itu sebutannya.

"Jahatkah maksud doa ini?"


Rinjani terjerat sunyi dalam doanya sendiri. Sebenarnya mana yang lebih masuk akal, persinggahan yang menyamar menjadi tujuan atau tujuan yang sedang menyamar menjadi persinggahan.

"Awas nanti nyaman," kalau saja itu berbunyi bak alarm kebakaran. Barangkali Rinjani akan lari terbirit-birit meninggalkan perkenalan itu tanpa arti apa-apa.

Tapi sayang, kata itu terucap dengan begitu jenakanya. Seperti kail dan umpan. Nyatanya "Awas" tidak selalu menakutkan untuk Rinjani yang penuh kenekatan. Meski ia tahu konsekuensi menjatuhkan hati, ialah menanggung patah hati.

Rinjani terus mencari alasan-alasan mengapa ia tetap merindukan laki-laki itu. Padahal belum pernah berjumpa. Padahal bisa saja lelaki itu belum lulus dari ujian melupakan masa lalunya. Hari-hari Rinjani hanya sesak mengonsumsi kekhawatiran dan pembuktian tidak penting. Setidaknya itu kata logika. Penyesalan menyeret kebimbangan, memaksa waktu berputar ke belakang, andai saja bisa mencegah jemari untuk stalking dan membubuhkan love pada postingan.

Rinjani pergi, memutuskan untuk terlelap dalam kesibukan. Mencari pelarian yang mungkin bisa memberinya pil penghilang ingatan. Utamanya tentang laki-laki itu. Ia sampai ke sebuah Kota di Timur Jawa, udaranya dingin, tapi itu justru mengingatkannya lagi kepada sang lelaki. Yaaaa dia pernah sedingin itu, ketika tahu perasaan dan harapan Rinjani terhadapnya.

"Lepaskan pikiran liar itu Rinjani, bisa saja ia menawarkan pelukan itu sebagai persinggahan bukan tempat pulang," Bujuk logika kepada nurani. Keramaian event nyatanya tak pernah membebaskan Rinjani dari penjara sepi. Beberapa pesan yang masuk nyatanya tak menghilangkan kesunyian akibat hilangnya kabar seseorang yang terus ia harapkan.

Rindu benar-benar menyerbu Rinjani bertubi-tubi. Ingin sekali Tuhan kembali menganugerahkan waktu dan kesempatan. Agar laki-laki itu bersedia lagi menjadi pendengar akan cerita-ceritanya. Atau sebaliknya, Rinjani menjadi telinga paling setia menyimak ceritanya.

Mungkin Rinjani akan menjelma jadi manusia tercomel untuk menceritakan tentang Kota Dingin itu. Tentang langit jingga yang menghiasi retinanya, tentang khayalan pelukan yang mungkin ditawarkan kemudian. Tapi lagi-lagi sebagai seseorang yang baru, hati Rinjani harus penuh pemakluman. Ketika telinga yang ia inginkan masih jadi bagian dari masa lalu, Rinjani harus segera membereskan harapannya agar tak menjumpai banyak penyesalan.

Sialnya, sebuah "Hey apa kabarmu jauh di sana.. tiba-tiba teringat, cerita yang rpernah kita upayakan.." darinya membuat hati Rinjani porakporanda untuk kedua kalinya.

-Bersambung-

2 Responses to "Kita yang Tak Pernah Mendefinisikan 'Kita'"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel